(1).
FPI bergerak berdasarkan laporan masyarakat, jadi tidak tiba-tiba FPI datang dan menghajar tempat dan pelaku maksiyat tanpa laporan masyarakat.
(2). Apabila laporan masyarakat sudah masuk, FPI lakukan langkah Investigasi. Maksudnya FPI memeriksa terlebih dahulu kebenaran dari laporan masyarakat tersebut. FPI himpun data, baik berupa foto, film, atau apapun yang dapat dijadikan bukti. Jadi apakah betul-betul terbukti laporan masyarakat tersebut benar adanya.
(3). Setelah data terkumpul, FPI lakukan pemetaan wilayah, jika mayoritas masyarakat di wilayah tsb setuju dgn keberadaan tempat maksiat tadi (mungkin misalnya disebabkan ada warga masyarakat yang bekerja mencari nafkah disana) maka itu termasuk wilayah dakwah. Pada wilayah dakwah FPI mengirim ustadz, dai untuk menyadarkan masyarakat bahwa maksiat itu berbahaya untuk kehidupan mereka. Dakwah itu bisa 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun 5 tahun tergantung kesadaran masyarakat. Sebab itulah ada sejumlah tempat maksiat yg sampai saat ini tidak tersentuh FPI. Orang yg apriori dan belum paham FPI mengira, "Oh mereka memberi setoran kepada FPI !". Apabila warganya masih mendukung kemaksiyatan dan FPI melakukan aksi fisik, maka itu bisa menyebabkan konflik horizontal antara FPI dan masyarakat. Ini tidak dikehendaki oleh FPI dan konflik horizontal TIDAK BOLEH Terjadi dan FPI harus hindari.
(4). Apabila sudah diinvestigasi, ternyata mayoritas warga masyarakat tidak suka dengan tempat maksiat tadi, tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara menutupnya atau mereka sudah lapor RT RW lurah tapi tidak membuahkan hasil, nah inilah yg FPI sebut wilayah hisbah. Artinya dukungan masyarakat FPI sudah dapat. Tinggal bagaimana menuntun masyarakat menutup tempat maksiat tadi.
Bagaimana menuntun masyarakat? FPI membawa mereka ke tingkat yang lebih tinggi. FPI bawa ke camat, FPI bawa ke Gubernur, FPI bawa ke DPRD untuk dialog, FPI ajak mereka untuk mendemo secara damai, kirim surat, kumpulkan tanda tangan masyarakat untuk menutup tempat maksiat tsb. Manakala aparat sudah turun dan tempat maksiat itu sudah ditutup karena tekanan masyarakat begitu kuat, tugas FPI selesai.
Demikianlah Prosedur standar (SOP) FPI dalam melakukan aksinya, semoga kita tidak termasuk orang yang begitu mudah memvonis FPI dengan tuduhan yg negatif seperti bahwa ada sejumlah Tempat maksiat yang memberikan setoran kepada FPI sehingga tidak digerebek oleh FPI dan tuduhan-tuduhan lainnya.
Sangat tidak bijak menghukum FPI hanya dengan bermodal informasi dari media mainstream yg terbukti seringkali memojokkan dan memang tidak suka dengan FPI. Tanda-tanda media mainstream yg membenci FPI adalah tidak pernah memberitakan aksi-aksi sosial FPI, dan selalu memburuk-burukkan FPI. Ada kesan yang mereka sampaikan adalah "Pokoknya FPI harus selalu jelek dan buruk ! Tidak ada kebaikan apapun yg keluar dari FPI !".
Penjelasan Tentang Standar Operasional Prosedur Front Pembela Islam - SOP FPI - oleh K.H. Ahmad Shobri Lubis
Mengenai Standar Operasional Prosedur (SOP) FPI, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), K.H. Ahmad Sobri Lubis, menyatakan bahwa setiap gerakan yang dilakukan oleh FPI selalu berdasar pada standar operasi (SOP) yang jelas. Selain SOP, gerakan FPI juga selalu berdampingan dengan aparat kepolisian dan pemerintah setempat.
“Ada sepuluh poin SOP yang harus dipatuhi anggota FPI dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Ini adalah standar baku. Kita tidak boleh bertindak sembarangan,” ujarnya dalam seminar ‘Quo Vadis Laskar-laskar Ormas Islam’ pada Kamis (25/6/2015) di Kantor MUI, Jakarta Pusat.
Sepuluh standar tersebut dijelaskan Sobri yang pertama ialah adanya surat aduan dari masyarakat. Kedua, himpunan data dan fakta yang dikumpulkan oleh Badan Investigasi milik FPI. Ketiga, penetapan wilayah ke dalam zona amar ma’ruf atau zona nahi munkar.
“Penetapan wilayah ini penting. Masyarakat yang mendukung adanya wilayah terlarang tersebut, akan masuk zona amar ma’ruf yang akan kami bimbing dan bina dalam jangka waktu tertentu. Sementara masyarakat yang menentang adanya kemaksiatan, disebut zona nahi munkar. Zona inilah yang akan ditindak lebih jauh oleh FPI,” katanya lagi.
Setelah penetapan zona masyarakat, jika wilayah terlarang tersebut bersifat ilegal, maka FPI akan langsung melaporkan ke aparat. Namun jika wilayah tersebut legal atau memiliki izin, maka kasus tersebut akan dibawa ke polsek dan camat atau lurah.
“Pada tahapan ini, jika berjalan lancar, maka
tugas FPI selesai sampai disini. Namun jika tidak memiliki titik temu, maka tempat terlarang tersebut akan terus kami bawa hingga tingkat gubernur dan polda.
Setelah melalui berbagai cara di atas dan masih belum berhasil, diakui Sobri ada standar kedelapan yakni dialog. FPI akan memfasilitasi dialog yang yang terdiri dari semua elemen mulai dari pemilik usaha, pemerintah, aparat kepolisian, dan lain sebagainya. Diharapkan cara ini dapat memberi titik terang atas tempat maksiat yang meresahkan masyarakat tersebut.
“Namun jika cara ini masih belum berhasil, kami akan mengadakan aksi damai yang mengundang berbagai media. Jika masih belum ada perubahan, baru
kami akan membantu masyarakat untuk melakukan tindakan yang mereka inginkan,” tutupnya.