1. Dalam konsideran menimbang maupun mengingat, RUU Larangan Minuman Beralkohol sama sekali tidak mendasarkan Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, padahal, sila pertama dari Pancasila ini adalah dasar dari nilai moralitas dan norma yang sangat kuat untuk melakukan LARANGAN Minuman Beralkohol untuk di produksi, diedarkan, diperjualbelikan maupun di konsumsi. Seharusnya pasal 29 UUD dijadikan konsideran “mengingat” dalam RUU tersebut.
2. Terkait pasal 8 ayat (1), (2) dan (3) RUU tersebut, FPI melihat klausul dalam pasal 8 tersebut merupakan cek kosong yang sangat sangat rawan disalahgunakan. Pasal 8 RUU tersebut sama saja dengan membuka lebar lebar pintu untuk memproduksi, mengedarkan, memperjualbelikan maupun mengonsumsi dengan alasan yang dibuat buat.
3. Terkait alasan adat, maka perlu dipertanyakan, berapa banyak volume minuman beralkohol yang digunakan dalam acara acara adat..? apakah penggunaan minuman beralkohol tersebut hanya sebagai symbol ritual adat, atau memang digunakan untuk pesta miras dalam upacara adat..? bila digunakan untuk tujuan pesta miras, maka budaya yang merusak tersebut justru harus dicegah melalui hukum, karena hukum salah satu fungsinya adalah sebagai instrument rekayasa social (law as tool as social engeneering), yaitu merekayasa nilai dan norma social yang penuh dengan mabuk-mabukan, menjadi nilai dan norma social yang positif. Oleh karenanya RUU tersebut harus menjadi tonggak untuk membersihkan budaya budaya maksiat.
4. Terkait dengan upacara keagamaan, maka patut dipertanyakan, agama apa dan ritual agama apa yang menggunakan minuman beralkohol sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT? agama dan ritual agama apa yang menjadikan minuman beralkohol sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT? hal ini harus dijelaskan secara kongkrit dan bertanggungjawab, agar TIDAK ADA agama yang dicemarkan oleh Negara melalui produk legislasi ini. Dengan mencantumkan minuman beralkohol untuk ritual keagamaan, hal ini sama saja dengan menuduh agama yang ada di Indonesia ini adalah agama pemabuk dan pecandu minuman beralkohol.
5. Terkait dengan kepentingan wisata, sudah dipaparkan argument sebagaimana pembahasan sebelumnya, sehingga perlu diperhatikan oleh pembuat UU bahwa Faktor utama dalam menarik wisatawan dan meningkatkan angka kunjungan wisatawan, bukanlah dengan menjadi fasilitator untuk berpesta pora dengan minuman beralkohol.
6. untuk kepentingan Farmasi, maka argument eksepsional ini justru bertentangan dengan naskah akademik dan tujuan perlindungan kesehatan
masyarakat sebagaimana naskah yang ada. Patut menjadi pertanyaan, kepentingan farmasi seperti apa yang membutuhkan minuman beralkohol..? berapa volume minuman beralkohol yang dibutuhkan untuk kepentingan farmasi ini...? Apakah memang ada dokter yang didalam resep untuk pengobatannya merekomendasi minuman beralkohol untuk di konsumsi orang yang sedang sakit...? Belum pernah kami melihat ada resep dokter yang merekomendasi bir sebagai obat untuk orang sakit. Dan tidak pernah ada, apotik di seluruh dunia yang menjual minuman beralkohol di dalam daftar obat mereka.
7. terkait tempat tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang – undangan, maka ini sama saja dengan memberikan izin peredaran minuman beralkohol untuk beredar diseluruh wilayah Indonesia dengan perlindungan perizinan. Ini sama saja membuat Undang Undang yang akan dibuat ini menjadi macan ompong dan tak ada manfaat sama sekali.
8. memberikan bagian terpenting terkait kewenangan Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut, adalah sama status hukumnya menjadikan Perpres 74/2013 sebagai Undang-Undang. Memberikan kewenangan regulasi melalui Peraturan Pemerintah untuk secara leluasa memperdagangkan minuman beralkohol sama saja dengan mengamputasi undang undang.
9. terkait pasal 8 secara keseluruhan, maka harus dibuat secara rinci dan jelas mengenai eksepsional tersebut, baik mengenai volume minuman beralkohol yang digunakan dalam acara adat atau keagamaan, maupun batasan lain secara ketat, tanpa didelegasikan lagi kepada Peraturan Pemerintah. Jangan sampai pembuat Undang Undang malas pikir dan malas kerja dalam melindungi rakyat.
10. Mengenai ketentuan Pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 18, 19, 20 dan 21 RUU tersebut, maka FPI secara tegas meminta kepada pembuat UU untuk menjadikan hukuman cambuk sebagai sarana dalam mendisplinkan masyarakat (law as tool as social engineering), agar tidak terjadi ketergantungan terhadap minuman beralkohol. Kalaupun harus ada hukuman penjara badan, maka ancaman hukuman minimal haruslah 5 Tahun, bukan 2 tahun sebagaimana yang ada dalam RUU.
MENGAPA PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL HARUS DITOLAK TOTAL?
A. BERDASARKAN PANDANGAN ISLAM.
B. MENURUT PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.
C. MENURUT PANDANGAN AGAMA SELAIN ISLAM DI REPUBLIK INDONESIA
D. DARI PERSPEKTIF KESEHATAN.
E. DARI PERSPEKTIF EKONOMI.
F. DAMPAK SOSIAL YANG DITIMBULKAN.
G. ASPEK PARIWISATA.
KRITIK TERHADAP RUU PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL
SIKAP DAN USULAN FPI